Wanitaindonesianews.com,JAKARTA–Kasus lumpuh layuh akut (AFP) kembali menyeruak menghantui para orangtua. Baru-baru ini, satu temuan kasus lumpuh layu akut didiagnosis sebagai kasus polio tipe 2 di Pidie, Nanggroe Aceh Darussalam sehingga dinyatakan sebaga status Kejadian Luar Biasa (KLB) Polio di bulan November 2022 lalu.
Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi Indonesia (Perdosri ) menggelar webinar cepat tanggap sebagai bentuk edukasi kepada para praktisi kesehatan dan juga pemahaman dan pengetahuankhususnya dr SpKFR guna meningkatkan kesadaran / awareness dalam melaksanakan tata laksana rasional pada kasus poliomyelitis.
Ketua Umum PP PERDOSRI periode 2022-2025 dr. Rumaisah Hasan, SpKFR, NM (K) dalam sambutannya mengatakan Kejadian Luar Biasa (KLB) Polio di bulan November 2022 lalu cukup mengejutkan dan cukup mengkuatirkan dunia kedokteran.
“Karena Indonesia sendiri memperoleh sertifikat bebas polio dari WHO. Polio sebagai penyakit infeksi yang mengakibatkan kelumpuhan dan ditularkan melalui makanan dan air, “ungkap dr. Rumaisah .
Dalam hal ini, lanjut dr. Rumaisah, bagi Spesialis kedokteran fisik dan Rehabilitasi yang concern tentang management comprehansive tentang gangguan fungsi dan kecacatan dalam berbagai tingkatan, ditemukannya kembali kasus polio tentu harus disikapi secara proporsional. Tidak boleh panik namun tidak boleh abai dan serampangan.
Webinar dilakukan melalui aplikasi Docquity dengan peserta berjumlah 560 orang dan dilanjutkan dengan sejumlah penyampaian materi dari pakar.
Pada sesi 1 materi judul “Poliomyelitis Datang Lagi: Manajemen dan Rehabilitasi Medis Fase Akut dan Sub-akut” disampaikan dr. Deddy Tedjasukmana, Sp.KFR, K.R.(K), MARS, MM, MPM, MH. (Departemen Rehabilitasi Medik, FKUI-RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta dari Dewan Etik PP Perdosri), serta narasumber dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Imunisasi Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kementerian Kesehatan RI, yaitu dr. Fristika Mildya, M.KKK.
Sesi kedua membahas mengenai materi dari pembicara ahli dari berbagai bidang, yakni dr. Amanda Soebadi, Sp.A(K), M.Med.(ClinNeurophysiol) dari Ikatan Dokter Anak Indonesia IKK Neuropediatri, Dr. Fatchur Rochman, Sp.KFR, M.S.(K) (Departemen Rehabilitasi Medis FKUnair-RSUP dr. Soetomo, Surabaya) dan Dr. dr. Nasyaruddin Herry Taufik, Sp.KFR (Dokter Rehabilitasi Medis di RS Zainoel Abidin, Banda Aceh, NAD)
Dalam pembahasan materinya berjudul “Pertimbangan patient safety pada kasus poliomyelitis”, dr. Deddy Tedjasukmana, Sp.KFR, K.R.(K), MARS, MM, MPM, MH. (Departemen Rehabilitasi Medik, FKUI-RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta) menyampaikan pentingnya meningkatkan keselamatan pasien, pada kasus apapun, termasuk poliomyelitis. Judul: Pertimbangan patient safety pada kasus poliomyelitis.
Kemudian dilanjutkan dr. Fristika Mildya, M.KKK (Direktorat Pengelolaan Imunisasi, Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kemenkes), menyampaikan materi berjudul “Waspada polio melalui surveilans AFP”.
“Penyakit polio adalah penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I) yang masih mengancam dan diperlukan cakupan imunisasi yang tinggi dan merata supaya dapat mencegah individu dari penyakit yang berbahaya dan mencegah penularan di masyarakat, ” jelas dr. Fristika Mildya, M.KKK.
Terdapat 3 tipe virus polio yaitu tipe 1, tipe 2, dan tipe 3 yang menurlar melalui fecal-oral dan oral-oral. Jenis vaksinnya sendiri terdiri dari vaksin polio oral (OPV) dan vaksin polio inaktivasi (IPV) yang mengandung virus polio tipe 1, 2, dan 3.
Target global polio adalah eradikasi polio pada tahun 2026. Sementara pada pada tahun 2014 Indonesia dinyatakan telah bebas polio.
Kebijakan surveilans AFP saat ini adalah: penemuan kasus lumpuh layuh akut (AFP) di semua fasyankes secara aktif maupun pasif, setiap kasus AFP dilakukan penyelidikan, setiap kasus AFP diambil specimen tinja dan diperiksa di lab rujukan, dan pelaporan dengan formulis sesuai pedoman.
Berlaku laporan nihil (zero report) jika tidak ditemukan suspek yang memenuhi kriteria di fasyankes.
dr. Amanda Soebadi, Sp.A(K), M.Med.(ClinNeurophysiol) (Divisi Pediatric Neurology – Departement Ilmu Kesehatan Anak, FKUI-RSUP Cipto Mangunkusumo, Jakarta) dalam materi berjudul “Diagnosis dan Tatalaksana Poliomyelitis pada Anak” menyampaikan terdapat empat sindroma utama manifestasi klinis dari infeksi virus polio: Asimptomatik subklinis, Mild symptomatic transient illness (kedua bentuk di atas mencapai 95% kasus), Meningitis aseptic, dan Poliomielitis paralitik, terjadi hanya 1 % atau kurang.
“Poliomielitis paralitik diawali gejala non spesifik seperti demam, lemah, nyeri tenggorok dan muntah, setelah 1-3 hari memasuki fase ke2 berupa demam tinggi, nyeri kepala, kaku kuduk dan nyeri punggung. Dalam 1-2 hari kemudian dapat terjadi kelemahan flaksid umum yang mencapai maksimal dalam 1-2 hari, ” tutur dr. Amanda Soebadi, Sp.A(K), M.Med.
Penegakan diagnosis meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorium (pemeriksaan virus pada feses), disertai pemeriksaan penunjang elektromiografi.
Terapinya sendiri tidak ada antivirus spesifik, meliputi terapi suportif bergantung pada manifestasi klinis seperti tatalaksana demam, analgetika, nutrisi dan hidrasi, dukungan airway dan ventilasi pada polio bulbar, serta cegah komplikasi karena imobilisasi lama.
Setelah pasien melewati fase akut maka mulai dilakukan rehabilitasi medis. Pencegahan utamanya adalah vaksinasi sesuai jadwal imunisasi anak yang dikeluarkan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Vaksin polio oral (OPV) diberikan segera sesudah lahir. Prognosis kematian terjadi pada 5 – 10% tipe spinal dan 25 -35% tipe bulbar.
Anak dengan kelemahan flaksid akut, terutama bila asimetris, patut dicurigai mengalami polio.
Dr. Fatchur Rochman, Sp.KFR, M.S.(K) (Departemen Rehabilitasi Medis FKUnair-RSUP dr. Soetomo, Surabaya) dalam materi berjudul “Manajeman dan Program Rehabilitasi Medis pada Poliomyelitis”, menyampaikan tatalaksana selama fase akut adalah istirahat, isolasi penderita, terapi simtomatik dan program rehabilitasi medis seawall mungkin.
Pada kasus2 tertentu bila Tindakan non operatif tidak berhasil dapat dilakukan Tindakan operatif.
Program rehabilitasi medik terbagi dalam 4 fase: stadium akut (sampai 2 minggu), subakut (2 minggu – 2 bulan), konvalesen (2 bulan – 2 tahun), dan kronis (setelah 2 tahun).
“Pada Stadium akut dapat terjadi spasme dan nyeri otot, maka tujuan program rehab medis di fase ini adalah mencegah kerusakan metaneuron total dan permanen serta mencegah kelelahan dan kontraktur otot. Programnya adalah istirahat total (total bed rest) disertai proper positioning. Selain itu diberikan pengobatan simptomatik antipiretika, analgetika dan relaksan otot.
“Bila terdeteksi adanya kelemahan otot pernafasan maka posisikan penderita dengan kepala direndahkan, bila perlu dipasang respirator. Bila ada kelemahan pharynx pasien dapat diposisikan miring. Hindari trauma, pemeriksaan yang lama, EMG, pijat dan stimulasi listrik, “katanya.
Pada stadium polio sub-akut, masih ada spasme , pasien masih istirahat dan proper positioning, cegah kelelahan dan pemberian obat-obatan simtomatik.
Selain itu mulai dilakukan Latihan lingkup gerak sendi pasif (digerakkan oleh orang lain) dan pemberian splint/alat bantu). Kehati-hatian dalam pemberian Latihan adalah jangan sampai menimbulkan nyeri.
Stadium konvalesen kekuatan otot mulai pulih, dalam 1 tahun pertama ini diharapkan terjadi pemulihan fungsi otot (50-70%). Tujuan latihan adalah mempertahankan lingkup gerak sendi yang normal, mempertahankan kekuatan otot yang normal, menguatkan otot yan glemah atau atrofi, penguatan otot yang digunakan untuk substitusi/mengambil alih fungsi otot yang lumpuh permanen.
Dapat diberikan orthosis untuk sendi tertentu dengan kelemahan otot atau terjadi deformitas, misal berbagai orthosis anggota gerak bawah. Pemberian alat bantu jalan seperti kruk dan walker.
Stadium polio kronis dimana kelemahan otot telah menetap. Program rehabilitasi lebih ke pola substitusi terutama untuk aktivitas kehidupan sehari-hari, edukasi dan Latihan pra-vokasi. Latihan kesetimbangan kekuatan otot untuk menghindari kontraktur dan deformitas. Latihan yang paling baik adalah berenang terutama di air hangat. Peran keluarga sangat diperlukan untuk keberlanjuntan program rehab medik sejak fase awal.
Pendekatan program rehab medik untuk penyakit polio adalah berdasar atas adanya ganggun fungsi dan prognosis.
Dr. dr. Nasyaruddin Herry Taufik, Sp.KFR (Dokter Rehabilitasi Medis di RS Zainoel Abidin, Banda Aceh, NAD) dalam materi berjudul “Berbagi pengalaman: menjalin kerja sama tim dalam KLB Polio”, berbagi cerita dan pengalaman klinis dalam melayani kasus pasien polio di Nanggroe Aceh Darussalam.
Acara dilanjutkan dengan sesi Tanya Jawab dengan berbagai narasumber.
Foto utama: istimewa