Wanitaindonesianews.com, JAKARTA–Sistem kekebalan tubuh yang prima menjadi faktor penentu seseorang terhindar dari berbagai macam virus yang merugikan kesehatan. Orang tua patut waspada terhadap virus RSV yang menjadi musuh pada buah hati mereka.
Terlebih pada musim hujan ini, flu dan batuk sering dianggap penyakit ringan yang biasa menyerang anak-anak. Padahal, di balik gejala yang tampak serupa dengan flu, ada ancaman virus yang jauh lebih berbahaya dan sering tidak disadari—Respiratory Syncytial Virus (RSV).
Virus ini menimbulkan gejala awal yang tampak seperti flu dan batuk, namun dapat dengan cepat berkembang menjadi infeksi pernapasan berat yang berbahaya terutama pada bayi prematur dan berisiko tinggi.
RSV menjadi penyebab kematian tertinggi kedua pada bayi di bawah usia satu tahun, menegaskan pentingnya kewaspadaan dan pencegahan sejak dini.
Di Indonesia, penularan virus terjadi sepanjang tahun, namun jumlah kasus cenderung meningkat selama musim hujan (sekitar November hingga Maret), menjadikan periode tersebut waktu paling berisiko bagi anak-anak.
RSV merupakan virus yang menyerang saluran pernapasan bawah dan menjadi salah satu penyebab utama bronkiolitis dan pneumonia pada anak dibawah 2 tahun.
Bagi bayi yang lahir prematur, yang memiliki penyakit jantung bawaan (PJB) atau gangguan paru kronis, infeksi RSV dapat berkembang cepat menjadi kondisi serius. Jika tidak ditangani segera, virus ini dapat menyebabkan gangguan pernapasan bagian bawah, seperti pneumonia dan bronkiolitis yang membutuhkan perawatan intensif di rumah sakit — bahkan berpotensi mengancam jiwa.
Virus ini menular melalui percikan liur, batuk, atau sentuhan pada permukaan yang terkontaminasi. Gejalanya sering kali mirip dengan flu biasa—pilek, batuk ringan, dan
demam—namun dapat berkembang cepat menjadi sesak napas, napas berbunyi “mengi”, hingga gagal napas.
Selain menyebabkan gangguan pernapasan akut, infeksi RSV berat juga dapat meninggalkan dampak jangka panjang, termasuk peningkatan risiko asma, wheezing (mengi) kronis, serta penurunan fungsi paru hingga usia sekolah.
Menurut World Health Organization (WHO), setiap tahun RSV menyebabkan lebih dari 3 juta kasus rawat inap dan sekitar 60.000 kematian anak dibawah usia lima tahun, dengan hampir setengahnya terjadi pada bayi di bawah enam bulan. Di Indonesia, penelitian menunjukkan bahwa hingga 60% kasus infeksi saluran napas pada anak disebabkan oleh RSV, dimana virus ini menjadi salah satu penyebab utama pneumonia.
Bayi yang lahir prematur memiliki risiko lebih tinggi mengalami infeksi RSV berat — bahkan dua kali lebih berpeluang dirawat di rumah sakit akibat RSV pada tahun pertama
kehidupannya dibandingkan bayi dengan risiko rendah.
Sebuah penelitian menunjukkan bahwa tingkat rawat inap akibat RSV mencapai 25,2 per 1.000 kelahiran pada bayi prematur (<32 minggu), dibandingkan 8,1 per 1.000 pada bayi cukup bulan, atau sekitar tiga kali lipat lebih tinggi.
Selain itu, angka perawatan di ICU dan penggunaan ventilator juga tercatat jauh lebih tinggi pada kelompok bayi prematur, yang menegaskan besarnya beban klinis yang dihadapi kelompok rentan ini.
Sementara itu, anak dengan penyakit jantung bawaan memiliki risiko rawat inap hingga 5x
lebih tinggiix dan lebih dari 50 persen harus mendapatkan perawatan intensif di ruang ICU dan bantuan ventilator.x Anak dengan riwayat gangguan paru kronis bahkan menghadapi risiko rawat inap hingga 20x lebih tinggixi, dengan lebih dari 30 persen diantaranya membutuhkan perawatan intensif di ruang ICU.

“Bayi prematur memiliki paru-paru yang belum berkembang sempurna dan sistem kekebalan tubuh yang masih lemah. Ketika mereka terpapar RSV, infeksinya dapat cepat memburuk dan menyebabkan kesulitan bernapas yang parah,” jelas Prof. Dr. dr. Rinawati Rohsiswatmo, Sp. A, Subsp. Neo., Dokter Spesialis Anak Subspesialis Neonatologi.
“Bahkan setelah sembuh, dampaknya dapat bertahan lama — termasuk peningkatan risiko asma dan gangguan pernapasan berulang di kemudian hari.”
Bayi yang lahir prematur — terutama sebelum usia kehamilan 35 minggu — umumnya memiliki paru-paru yang belum matang dan jumlah surfaktan yang rendah, yaitu zat alami yang membantu paru-paru tetap mengembang saat bernapas. Ketika terinfeksi RSV, akan terbentuk lendir yang dapat menyumbat saluran napas kecil, menyebabkan kesulitan bernapas, hingga apnea (henti napas sementara).
Pada bayi dengan penyakit jantung bawaan, kemampuan jantung untuk memompa darah dan oksigen masih terbatas. Saat terinfeksi RSV, kondisi ini dapat memburuk karena
meningkatnya beban jantung, penurunan kadar oksigen, hingga risiko gagal napas akut.
Lebih lanjut lagi dr. Rizky Adriansyah, M.Ked (Ped), Sp.A(K), dokter Spesialis Anak Konsultan Kardiologi menjelaskan bahwa bagi bayi dengan penyakit jantung bawaan, infeksi RSV juga dapat menyebabkan penundaan operasi penting yang seharusnya segera dilakukan, sehingga berdampak pada proses penyembuhan bahkan keselamatan anak.
“Situasi ini tentu menjadi tantangan berat, baik bagi tim medis yang berupaya memberikan perawatan terbaik, maupun bagi keluarga yang harus menunggu dengan penuh kekhawatiran. Sungguh menyentuh hati ketika prosedur krusial bagi kelangsungan hidup bayi harus tertunda akibat infeksi yang sebenarnya dapat dicegah,”tambah dr.Rizky.
Selain bayi prematur dan bayi dengan penyakit jantung bawaan, bayi dengan gangguan paru kronis juga berisiko mengalami dampak langsung serius maupun dampak jangka panjang pada kesehatan pernapasannya di masa depan.
“Anak – anak, termasuk bayi prematur dan berisiko tinggi adalah bagian paling berharga dari generasi kita dan sepenuhnya bergantung
pada perlindungan orang dewasa agar dapat tumbuh dan berkembang sehat seperti bayi
cukup bulan lainnya. Oleh karena itu, pencegahan menjadi langkah terbaik agar mereka tidak melalui fase kritis di ruang intensif. Salah satunya melalui imunoprofilaksis (imunisasi pasif) untuk pencegahan RSV yang dapat memberikan perlindungan sejak dini. Jangan ditunda mengingat Oktober hingga Maret merupakan musim puncak RSV,” tambah Prof. Rina.
Langkah Pencegahan: Melindungi Sejak Dini
Upaya pencegahan RSV dimulai dari hal sederhana—mencuci tangan dengan sabun, menghindari kontak dengan orang sakit, menjaga ventilasi rumah tetap baik, dan tidak
membawa bayi ke tempat ramai.
Namun, bagi kelompok berisiko tinggi seperti bayi prematur atau anak dengan penyakit bawaan, diperlukan perlindungan tambahan
melalui imunoprofilaksis (imunisasi pasif) untuk pencegahan RSV, misalnya palivizumab.
Palivizumab adalah antibodi monoklonal yang dirancang khusus untuk memberikan perlindungan pasif terhadap RSV. Tidak seperti vaksin yang merangsang sistem imun untuk membentuk antibodi sendiri, Palivizumab langsung memberikan antibodi siap pakai, sehingga efektif bagi bayi dengan sistem imun yang belum matang.
Pemberian Palivizumab terbukti menurunkan angka rawat inap akibat RSV hingga lebih dari 50% pada bayi prematur dan anak dengan penyakit jantung bawaan.
Kesadaran orang tua berperan penting dalam mencegah penularan RSV. Karena itu, AstraZeneca berkomitmen untuk memperkuat edukasi masyarakat mengenai pentingnya pencegahan infeksi saluran pernapasan pada anak, sekaligus memastikan akses yang lebih luas terhadap imunisasi antibodi monoklonal Palivizumab sebagai salah satu upaya
perlindungan.
“Kesehatan anak merupakan fondasi masa depan bangsa. AstraZeneca berkomitmen
memastikan setiap anak, termasuk bayi prematur dan berisiko tinggi, mendapatkan perlindungan terbaik melalui inovasi dan edukasi kesehatan yang berkelanjutan,” ujar Esra Erkomay, Presiden Direktur AstraZeneca Indonesia.
“Perlindungan terhadap penyakit
pernapasan seperti RSV membutuhkan kolaborasi lintas sektor dan kesadaran bersama agar langkah pencegahan dapat dimulai sejak dini, salah satunya melalui imunoprofilaksis yang tepat.”

