Wanitaindonesianews.com, JAKARTA–Kasus kekerasan terhadap tenaga kesehatan (nakes) terus mengalami peningkatan sehingga perlu mendapat perhatian dari penegak hukum. Mulai dari kekerasan verbal, intimidasi, hingga fisik kerap dialami para nakes. Pemicunya karena adanya miskomunikasi atau ketidakpuasan keluarga pasien.
Kekerasan terhadap nakes tentu tidak dapat dibiarkan, karena dapat mengancam keamanan profesi sekaligus menurunkan kualitas layanan kesehatan masyarakat.
Ketua PP Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Fisik & Rehabilitasi Indonesia (PERDOSRI) Dr. dr. Rumaisah Hasan,Sp.K.F.R, N.M (K), FEMG, AIFO-K saat menjadi pembicara di acara “KASIHMI (Kajian Silaturahmi) HMI BASTRA CXIII” yang digelar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) pada Senin, 15 Desember 2025 menghimbau tenaga kesehatan yang mengalami kekerasan agar tidak segan untuk melaporkan kasusnya ke pihak berwajib.
“Jangan menganggap enteng persoalan kekerasan terhadap tenaga kesehatan karena dampaknya bisa menurunkan kualitas layanan kesehatan,” kata dr Rumaisah Hasan.
Rumaisah menjelaskan data dan fakta menunjukkan 78 persen tenaga kesehatan pernah mengalami kekerasan.
Survei Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tahun 2022 juga menunjukkan bahwa 3 dari 4 dokter pernah mengalami kekerasan baik dalam bentuk verbal, initimidasi maupun ancaman selama praktik.
Kasus-kasus kekerasan terhadap dokter tersebut sekitar 45 persen terjadi di instalasi gawat darurat (IGD) di mana tekanan emosi keluarga pasien paling tinggi dan waktu respon yang kritis.
Bentuknya antara lain kekerasan fisik, kekerasna psikologis, kekerasan digital, kekerasan verbal, kekerasan seksual, dan eksploitasi ekonomi.
“Data ini menunjukkan bahwa kekerasan terhadap tenaga kesehatan bukan masalah sporadis, atau insidental. Ini adalah krisis sistemik yang membutuhkan respon kolektif dan terstruktur dari kita semua,” ujar dr. Rumaisah.
Meski sebagian besar tenaga kesehatan mengalami kekerasan, diakui dr Rumaisah, sekitar 68 persen memilih tidak melaporkan ke pihak berwajib.
“Tenaga kesehatan memilih diam dan tidak melaporkan insiden tersebut karena takut repot, tidak percaya pada sistem dan khawatir dipersalahkan balik,” tegas dr. Rumaisah.
Beberapa kasus kekerasan terhadap tenaga medis, contohnya adalah insiden di RSUP Wahidin Makassar. Seorang perawat yang sedang melakukan resusitasi untuk menyelamatkan nyawa pasien, justeru dicekik dan dibanting oleh keluarga pasien yang tidak terkendali emosinya.
Kasus lainnya yang masih hangat adalah intimidasi terhadap seorang dokter spesialis di RSUD Sekayu yang dipaksa membuka masker dan direkam secara paksa oleh keluarga pasien yang arogan. Video tersebut kemudian disebarkan untuk mempermalukan dokter di media sosial.
“Ini belum termasuk ancaman digital berupa doxing dan trial by social media. Penyebaran data pribadi tenaga kesehatan seperti alamat rumah, nomor telepon, foto oleh nitizen yang marah karena potongan video yang tidak utuh,” lanjut Dr Rumaisah Hasan.
Menurutnya, kekerasan terhadap tenaga kesehatan dipicu oleh beberapa faktor. Di antaranya ekspektasi yang tidak realistis dari pasien atau keluarga pasien, beban ekonomi kesehatan di mana biaya kesehatan yang tinggi, sistem jaminan yang rumit dan ketidakpastian finansial, adanya gap komunikasi medis dan awan di mana bahasa medis yang terlalu teknis menciptakan jarak dengan pasien, serta erosi kepercayaan publik.
“Berita negative tentang malpraktik, oknum yang tidak professional dan viralnya kasus medis yang sensasional mengikis kepercayaan masyarakat terhadap profesi medis secara umum,” katanya.
Kekerasan terhadap tenaga kesehatan diakui dr Rumaisah membawa konsekuensi yang tidak bisa dianggap remeh.
Beberapa dampak di antaranya dapat menurunkan mutu pelayanan, dan defensive medicine.
Ketika dokter merasa terancam, mereka meminta pemeriksaan berlebih bukan demi pasien, melainkan hanya untuk mencari aman secara legal.
“Ini jelas membuang waktu, biaya dan kepercayaan,” tambahnya.
Belum lagi dampak psikologis yang harus dialami oleh tenaga kesehatan yang bersangkutan mulai dari ketakutan, was-was, hingga tekanan mental.
Ia mengimbau agar tenaga medis tidak takut melaporkan diri jika mengalami
kekerasan dalam menjalani profesinya selama melakukan tindakan medis sesuai standar.
Negara sudah hadir melalui UU Kesehatan nomor 17 tahun 2023. UU ini menjelaskan secara detail tentang perlindungan hukum bagi tenaga kesehatan, pasal anti perundungan hingga sanksi pidana yang bisa diproses hukum.
Guna mengantisipasi terjadinya kekerasan terhadap tenaga kesehatan, menurut dr. Rumaisah, penting bagi semua tenaga kesehatan untuk mitigasi personal, situasional awareness dan self-protection.
Caranya, kenali lingkungan kerja, dokumentasi rekam medis yang lengkap, rapi dan kronologis, jangan sendirian saat situasi berisiko, dan selalu percaya pada insting.
“Satu nakes terluka, semua nakes berduka, mari saling menjaga,” lanjut dr Rumaisah Hasan.
dr Rumaisah Hasan menambahkan, perlindungan tenaga kesehatan bukan hanya tanggung jawab individu.
Dalam hal ini institusi rumah sakit, puskesmas, klinik juga memiliki kewajiban moral dan legal untuk menciptakan lingkungan kerja yang aman.
Kepada HMI komisariat kedokteran, dr Rumaisah berpesan agar meningkatkan silaturahmi, lebih peka lingkungan, tingkatkan solidaritas sejawat dan cerdas hukum dengan cara memahami UU Kesehatan dan hak-hak perlindungan tenaga kesehatan.

