WanitaIndonesiaNews.com, JAKARTA-Berolah raga kini menjadi gaya hidup masyarakat perkotaan belakangan ini. Namun adakalanya kecelakaan kecil, seperti cedera otot ditengah berolah raga tidak dapat dihindari.
CEO RS Premier Bintaro dr. Martha M.L. Siahaan, MARS, MHkes, mengatakan jangan memandang remeh cedera otot yang terjadi.
Sebab, apabila terus menerus berulang, akan berdampak pada aktivitas fisik sehari-hari dan kesehatan secara keseluruhan.
Lantas, bagaimana jika ini terjadi pada seorang atlet profesional? Tentu akan menurunkan performa bertandingnya.
“Karena itu, sangat penting mengetahui ragam cedera yang terjadi saat olahraga.
Baik itu yang memerlukan penanganan segera, ataupun yang tidak. Tentu saja agar akibat yang lebih fatal dapat dihindari,” ujar dr. Martha, pada acara “Bincang Santai Seputar Cedera Olahraga” dalam program Talk to the Expert yang diadakan RS Premier Bintaro, Selasa, 5 September 2021.
Acara ini dipandu selebritas Rico Ceper dan Melanie Putria, dengan menghadirkan dr. Sapto Adji, Sp.OT (K) dan dr. Jefri Sukmawan, Sp.OT (K).
Dikatakan dr Martha saat ini animo masyarakat untuk berolahraga cukup tinggi. Namun sayangnya tidak diimbangi dengan pemahaman yang baik dan benar.
“Tidak heran, jika terjadi cedera olahraga. Karena itu, melalui Talk to the Expert ini, kami mengajak masyarakat untuk lebih aware terhadap cedera yang terjadi saat olahraga, baik penanganan maupun pencegahannya,” katanya.
Penyebab Cedera
dr. Sapto Adji, Sp.OT (K), menyampaikan ada beberapa penyebab cedera olahraga. Namun yang lebih sering karena tidak melakukan tahapan dengan baik.
“Misalnya, tidak melakukan pemanasan sebelum latihan inti dan melupakan cooling down setelah olahraga,” kata dr. Sapto yang berpraktek di RS Premier Bintaro ini.
Kemudian yang terpenting, tambah dr. Sapto, orang kerap menyepelekan soal pemakaian sepatu dan pakaian olah raga yang sesuai.
Padahal hal ini turut mempengaruhi seseorang cedera.
Penyebab lain seseorang rentan cedera yaitu waktu olahraga yang tidak tepat. Misalnya, berlatih bulutangkis hingga tengah malam, di mana seharusnya ia beristirahat. Atau karena kondisinya kurang fit, sedang flu atau sakit tetapi memaksakan berolahraga.
Aware pada alarm tubuh
Jangan abaikan ketika tubuh sudah memberikan alarm ada sesuatu yang salah.
Ketika merasakan nyeri di bagian tubuh atau tulang, itu bisa menjadi pertanda olahraga yang kita lakukan telah menyebabkan cedera. Rasa nyeri itu baik sedikit-sedikit namun terus menerus, maupun akut.
“Selain rasa nyeri, bengkak dan perubahan warna kulit, misalnya kemerahan atau kebiruan, juga pertanda bahwa kita mengalami cedera,” kata dr. Sapto Spesialis Bedah Orthopaedi Knee dan Sport Medicine di Sport Clinic RS Premier Bintaro, ini.
Sementara itu, dr. Jefri Sukmawan, Sp.OT (K) menyarankan ketika terdapat tanda-tanda cedera, maka segeralah beristirahat.
Kalau nyeri tetap terasa meski kita telah beristirahat atau bila nyeri sangat terasa, sebaiknya segera berkonsultasi kepada dokter. Dengan penanganan yang tepat, kita bisa pulih dari cedera dan beraktivitas olahraga lagi seperti sedia kala.
Pengobatan cedera sendiri dibagi dua, operasi atau tanpa operasi.
“Tujuan pengobatan secara garis besar adalah mengembalikan ke level aktivitas semula, apapun cederanya, “tutur dr. Jefry.
Namun tentu saja, lebih baik mencegah daripada mengobati.
Dr. Jefry mengingatkan sebelum melakukan olahraga tertentu agar menyesuaikan dengan kondisi diri kita. Jangan melakukan olahraga yang memicu kerja jantung apabila Anda punya masalah dengan jantung.
“Sebaiknya tidak sekadar ikut tren. Misalnya, orang gemuk ikut lari, karena akan rentan cedera lutut,” ujarnya.
Olahraga lari bagi penderita obesitas bisa membahayakan atau menimbulkan cidera pada sendi lutut. Perlu dipahami juga olahraga yang terlalu intens juga bisa membahayakan jantung.
dr. Jefri Sukmawan, Sp. OT, menambahkan untuk mewaspadai kondisi kaku disertai nyeri pada sendi bahu sehingga membuat bahu sulit bergerak. Gangguan ini akibat proses radang yang terus-menerus.
“Lama-lama ruang kapsul sendi akhirnya menyempit dan terjadi perlengketan yang disertai rasa nyeri,” jelas dokter spesialis bedah orthopedi (shoulder specialist) RS Premier Bintaro, ini.
Gangguan ini tidak serta merta terjadi begitu saja. Umumnya berlangsung dalam beberapa fase. Pertama, penderita merasakan pegal, berlanjut menjadi nyeri dalam beberapa minggu hingga bulan.
Fase berikutnya, sulit menggerakkan lengan atas sehingga terjadi keterbatasan gerak hampir ke segala arah (depan, samping, memutar, bahkan kesulitan menggaruk punggungnya). Kondisi ini bisa berlangsung berbulan-bulan bila tidak diterapi dengan tepat.
Fase akhir, gerakan bahu berangsur-angsur kembali. Namun karena dibutuhkan waktu lama (berbulan-bulan hingga menahun) untuk mencapai fase akhir, umumnya penderita berobat saat melalui fase pertama dan kedua.
Sebagian besar kasus ini biasanya dapat diatasi tanpa dioperasi. Bisa ditangani secara konservatif, seperti minum obat pereda radang, diikuti terapi fisik atau fisioterapi.
“Kunci utama pemulihan adalah mempertahankan gerakan bahu seoptimal mungkin. Penderita juga perlu berperan mandiri dalam melatih pergerakan bahunya secara rutin. Jika tidak kunjung pulih, dapat dibantu dengan terapi operatif, seperti shoulder manipulation dan teknik operasi minimally invasive seperti shoulder arthroscopy, “pungkas dr. Jefry.