WanitaIndonesianews.com, JAKARTA—Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ( PKDRT) hampir memasuki 20 tahun sejak diundangkan. Sayangnya jumlah kasus KDRT yang tidak terlaporkan jauh lebih besar sebaagai akibat anggapan bahwa masalah ini adalah aib keluarga.
Sejak diundangkan 19 tahun yang lalu, kenyataannya angka KDRT di Indonesia masih tinggi. Masih banyak kasus KDRT yang tidak dilaporkan dan diselesaikan sesuai aturan hukum perundang-undangan.
Ketua Umum Kongres Wanita Indonesoa (Kowani) Dr Ir Giwo Rubianto, M.Pd mengatakan berbagai penyebab mengapa kasus-kasus KDRT yang terjadi di masyarakat tidak terlaporkan meski produk hukumnya sudah ada.
“Pertama, masih adanya anggapan bahwa KDRT adalah aib keluarga. Akibatnya korban maupun keluarga enggan melaporkan kasus KDRT kepada aparat hukum. Bisa diibaratkan seperti gunung es yang hanya terlihat puncaknya,” ujar Giwo yang hadir pada kegiatan Kampanye Jelang 2 Dekade UU PKDRT bertema “Gema Kolaboratif Multistakeholders Menghapuskan KDRT di Ruang Publik” di area car free day Jalan Sudirman, Jakarta, Minggu, 15 Oktober 2023.
Karena dianggap sebagai aib keluarga sehingga korban KDRT enggan melapor. Berbelitnya proses penanganan laporan kasus KDRT yang membuang waktu dan energi membuat korban juga enggan berurusan dengan hukum.
“Bahkan pada saat melakukan pelaporan, masih butuh saksi-saksi, prosesnya berbelit. Padahal meminta orang lain untuk jadi saksi KDRT juga tidak semua orang mau. Banyak yang tidak mau repot dan tidak mau melibatkan diri pada persoalan keluarga lain,” papar Giwo.
Jelang 2 dekade UU PKDRT ini, Giwo berharap pemerintah melakukan evaluasi sekaligus mengawal implementasi UU PKDRT di lapangan.
“Jangan sampai payung hukum yang proses penyusunan hingga pengesahannya memakan waktu yang panjang dan biaya yang tidak sedikit pada akhirnya tidak bermanfaat. Termasuk siapa yang bertanggung jawab penuh terhadap implementasi UU ini? Produk sudah diluncurkan, namun instansi yang bertanggungjawab penuh terhadap implementasi UU tidak jelas. Harus jelas siapa yang mengawal UU ini di lapangan,”kata Giwo.
Menurut Giwo, sejatinya pemerintah memperbanyak pos-pos pengaduan kasus KDRT di ruang publik. Dengan begitu masyarakat dengan mudah dapat melakukan pelaporan kekerasan.
“Misalnya di mal-mal, rumah sakit atau ruang public tersedia pos-pos pengaduan. Sehingga masyarakat tidak bingung kemana harus melapor apabila mendapat kekerasan di dalam rumah tangganya,” lanjutnya.
Kampanye Jelang 2 Dekade UU PKDRT yang menghadirkan sejumlah organisasi perempuan tersebut dihadiri oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Bintang Puspayoga. Dalam sambutan singkatnya, Bintang berharap dukungan dari semua stakeholder juga organisasi perempuan untuk lebih menggaungkan UU PKDRT.
“Kita tunggu aksi semua pihak untuk bersama-sama menggaungkan UU PKDRT dan mengawal setiap kasus KDRT yang ada di lapangan,” tandas Bintang.
Berbagai data menunjukkan, bahwa kekerasan dalam rumah tangga masih tinggi dari tahun ke tahun. Berdasarkan Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) Tahun 2021 menunjukkan bahwa 1 dari 4 perempuan usia 15-64 tahun pernah mengalami kekerasan fisik atau kekerasan seksual. 1 dari 9 (11,3%) Perempuan usia 15-64 tahun mengalami kekerasan fisik (8,2%) dan/atau seksual (5,7%) oleh pasangan selama hidupnya.
Bentuk kekerasan yang dilakukan oleh suami/pasangan yang terbanyak dialami adalah pembatasan perilaku (30,9% selama hidup; 22% setahun terakhir)Kondisi ini selaras dengan persepsi atau sikap Perempuan yang sebagian besar me. nyatakan setuju terhadap pernyataan bahwa “istri yang baik harus patuh pada suami meskipun bertentangan dengan keinginan istri”.
Sedangkan kekerasan yang dilakukan orang lain atau bukan pasangan adalah 20% selama hidupnya secara fisik (15,4%) dan/atau seksual (5,2%); dan 6% dalam setahun terakhir. Bentuk kekerasan seksual oleh bukan pasangan paling banyak dialami Perempuan adalah dikirimi pesan berbau seksual lewat medsos, perilaku bicara, komentar berbau seksual, diperlihatkan gambar berbau seksual, dan disentuh/diraba bagian tubuhnya.
Sedangkan berdasarkan data Simfoni PPA dari Januari- Desember 2022 menurut tempat kejadian kekerasan terhadap perempuan paling banyak terjadi di rumah tangga (KDRT) yakni sebesar 73,1% (8.432 kasus), sementara pelakunya Sebagian besar adalah suami 56,3%. Data terbaru dari Komnas Perempuan dan layanan pengaduan terpadu mencatat bahwa sepanjang tahun 2022, angka kekerasan terhadap perempuan mencapai 457.895 kasus.
Dari total jumlah tersebut, ada 61 persen kasus yang terjadi di ranah privat, dengan 91 persennya adalah kasus KDRT. Korban adalah istri dan anak dengan pelaku suami atau ayah. Banyak hal yang menyebabkan KDRT begitu marak di Indonesia misalnya ketidaksetaraan gender, ketidaksetaraan dalam hubungan rumah tangga, ada masalah ekonomi, ketidakadilan sosial, kekerasan keluarga yang merupakan budaya tersembunyi, dan kurangnya pendidikan dan kesadaran tentang hak-hak individu.