WanitaIndonesianews.com,JAKARTA–Jumlah penderita penyakit dengan kategori langka ada lebih dari 10.000 di dunia. Namun, jumlah penyakit langka yang terdiagnosa di Indonesia baru berada di angka 70 sampai 80 diagnosa. Di Indonesia, rendahnya diagnosa terjadi akibat keterbatasan akses serta kurangnya kesadartahuan masyarakat tentang pentingnya diagnosa penyakit langka untuk menyelamatkan hidup para orang dengan penyakit langka (odalangka).
Memperingati Hari Penyakit Langka yang jatuh tiap tanggal 29 Februari, GSI melalui program sosial Batik Pelangi (Bantu Tes Genetik Penyakit Langka Indonesia), menggelar talkshow bertajuk Bincang Rare Disease “ Pentingnya Tes Genetik untuk Percepatan Penegakan Diagnosis Penyakit Langka di Indonesia.”
Menurut salah satu pembicara, dr. Cut Nurul Hafifah Sp.A, Subsp. NPM, Spesialis Ilmu Kesehatan Anak Subspesialis Kesehatan Anak, Nutrisi dan Penyakit Metabolik RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) ,penyakit langka merupakan sekelompok penyakit yang memiliki persentase kecil dalam suatu populasi manusia yang kondisinya biasanya kronis tapi belum bisa disembuhkan.
Setidaknya ada sekitar 7000 penyakit langka di dunia yang dialami lebih dari 350 juta orang di dunia.
“Timbulnya penyakit langka yang menyerang manusia disebabkan banyak faktor seperti faktor keturunan hingga pengaruh lingkungan. Itulah mengapa penyakit langka juga bisa diderita bayi baru lahir. Sayangnya penyakit langka itu tidak bisa sembuh, bahkan banyak yang belum ada obatnya,” jelas Cut Nurul dalam talkshow yang digelar secara luring dan daring di Klinik Genomics Hub, Setiabudi, Jakarta Selatan.
Sementara itu, dr. Widya Eka Nugaraha, M.Si.Med, konselor Genomika menambahkan sejumlah penyakit langka dialami anak Indonesia, di antaranya Treacher Collins syndrome, Apert syndrome, Cornelia de Lange syndrome, Cri du Cat syndrome juga Di George syndrome.
Sebagian besar penyakit langka memang belum ada obatnya, namun seiring dengan perkembangan medis ada beberapa penyakit langka yang bisa diobati, yakni Phenylketonuria, Gaucher disease, Mucopolysachharidosis.
“Saya ingin meluruskan dulu, penyakit langka bukanlah mitos atau kutukan. Penyakit langka itu nyata dan anak-anak Indonesia juga mengalami hal ini. Meski nyata, penyakit langka ini tidak menular sehingga sebaiknya kita tidak menyematkan stigma negatif bagi penderita,”papar dr. Widya.
Widya menyarankan agar orang tua yang memiliki anak dengan penyakit langka untuk bergabung dengan komunitas.
“Tujuannya tentu saja agar saling mendukung dan berbagi sekaligus sebagai support system,” urai dr. Widya.
Bagi keluarga yang memiliki penyakit langka juga disarankan melakukan pemeriksaan genomik untuk mengetahui profil risiko anggota keluarga lainnya.
Beberapa penyakit langka itu bisa parah dan fatal. Namun apabila diketahui sejak dini dan diagnosisnya tepat, penyakit langka yang ada obatnya bisa memperbaiki usia harapan hidup penderitanya.
Kewirausahaan sosial Genomik Solidaritas Indonesia (GSI) sejak Mei 2023 telah berkomitmen mendukung percepatan penegakan diagnosa penyakit langka di Indonesia melalui program Batik Pelangi.
Melalui acara talkshow ini, diharapkan masyarakat semakin sadar akan pentingnya diagnosis penyakit langka, serta mendukung penyingkatan rantai Diagnosis Odyssey atau perjalanan panjang pengidap penyakit langka mencari diagnosa yang tepat melalui metode Next Generation Sequencing (NGS) yaitu Whole Exome Sequencing (WES).
“Program inspiratif itu ingin mengundang masyarakat dan perusahaan untuk bersama-sama memperjuangkan hak anak-anak Indonesia dengan penyakit langka agar bisa mendapatkan diagnosis yang tepat,” ujar dr. Zoya Marie Adyasa M, Res, Konselor Genomika GSI.
Dalam acara ini GSI mengumumkan secara resmi bahwa, sejak diluncurkan sepuluh bulan yang lalu, setelah melalui perjalanan yang panjang dan bantuan donasi dari berbagai pihak, Batik Pelangi telah berhasil membantu enam belas pasien penyakit langka melakukan tes WES secara gratis dan telah memberikan konsultasi genomika untuk menegakkan diagnosa dari masing-masing pasien.
Melalui teknologi WES, GSI dengan bangga menyatakan bahwa GSI berhasil mendapati diagnosa-diagnosa baru yang telah GSI laporkan kepada penerima WES Batik Pelangi. Beberapa sindrom yang ditemukan adalah Sotos Syndrome, Baraitser-Winter Syndrome, Rubinstein-Taybi syndrome, Rett Syndrome, LQTS, dan Adrenoleukodistrofi.
Diharapkan melalui tes dan temuan ini, penegakan diagnosa penyakit langka di Indonesia dapat lebih masif lagi.
“Shortcutting diagnosis odyssey adalah langkah awal untuk memajukan perkembangan medis dalam bidang penyakit langka. Semakin kita bersama mendukung visi ini, lebih banyak makna, kesehatan jiwa dan kualitas hidup untuk pasien dan keluarga (pasien) penyakit langka.“ lanjut Zoya Marie.
Selain itu, terdapat pula sesi berbagi cerita antara keluarga pasien program Batik Pelangi dengan Komunitas Indonesia Rare Disorders (IRD) dan Komunitas Indonesian Care for Rare Disease (IC4RD), tentang pengalaman mereka dalam membersamai odalangka Indonesia mencari diagnosa serta terapi yang tepat.
GSI menargetkan membuka batch program WES gratis berikutnya secepatnya. Melalui pembelian merchandise dan donasi, masyarakat dapat ikut berkontribusi dalam program Batik Pelangi untuk memberikan kesempatan bagi lebih banyak odalangka Indonesia agar mendapatkan diagnosis yang tepat.
Batik Pelangi bukan hanya tentang memberikan harapan, tetapi juga tentang memberdayakan masyarakat untuk berpartisipasi dalam misi kemanusiaan yang lebih besar.
GSI mengundang semua pihak yang peduli untuk bergabung dengan program Batik Pelangi dalam menyebarkan semangat solidaritas untuk memutus rantai Diagnosis Odyssey ini dan menjadikan Batik Pelangi sebagai sebuah gerakan yang berkelanjutan.