GoHappyLive.Com, JAKARTA.- Sejumlah upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah dan bank sentral diyakini akan mampu menjaga defisit transaksi berjalan di kisaran 2,5 persen dan bahkan menurun ke 2 persen pada  tahun 2019.
Proyeksi tersebut disampaikan Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo di Jakarta, baru-baru ini. Dikatakan, proyeksi itu sejalan dengan upaya penerapan B20, pembatasan impor dan promosi pariwisata serta penundaan proyek infrastruktur yang konten impornya tinggi.
“Tahun depan, kami perkirakan current acccountdeficit (defisit transaksi berjalan) akan berada di kisaran 2 persen. Tidak hanya dari upaya menekan impor, tapi karena ada tambahan dari upaya mengenjot ekspor,” ujar Perry.
Dari upaya menekan impor migas melalui penerapan B20, penghematan bisa mencapai US$10 miliar. Sementara itu, upaya mengenjot ekspor akan mampu menghasilkan setidaknya US$4 miliar-US$5 miliar.
Dengan demikian, penghematan tahun depan akan cukup besar, termasuk tambahan dari devisa pariwisata.
Dalam kesempatan ini, ia menampik upaya pemerintah dan bank sentral untuk menekan defisit transaksi berjalan sebagai upaya yang hasilnya baru terlihat jangka panjang.
“Siapa yang bilang jangka panjang. Ini jangka pendek juga,” tegas dia.
Menurut dia, semua upaya yang dilakukan pemerintah dan BI akan cepat dapat dirasakan hasilnya.
Bank Indonesia diperkirakan akan menaikkan suku bunga hingga 6,5 persen pada tahun depan seiring peningkatan risiko dari dalam negeri.
Sementara itu, Kepala Ekonom PT Bank Mandiri Tbk. Anton Gunawan menuturkan salah satu risikonya adalah ekspektasi inflasi yang diperkirakan meningkat pada tahun depan. Dia memperkirakan inflasi akan mencapai 4,5 persen pada 2019.
“Kenaikan ekspektasi inflasi menjadi salah satu alasan mengapa BI harus menaikkan suku bunganya pada tahun depan,” ujar Anton.
Ekspektasi inflasi ke depan yang meningkat 4,5 persen dipicu oleh penyesuaian harga BBM setelah Pemilu atau Lebaran tahun depan. Namun, Anton menilai tidak semua harga BBM yang akan meningkat, hanya sebagian.
Langkah ini harus dilakukan pemerintah karena harga minyak global telah meningkat dengan cepat sejak tahun lalu. Selain itu, dia melihat indeks harga produsen (IHP/PPI) belum mengalami peningkatan hingga saat ini sebagai imbas dari kenaikan harga bahan baku dari depresiasi rupiah dan kenaikan harga BBM nonsubsidi.
Selama ini, produsen masih menanggung kenaikan harga produksinya dengan menekan biaya produksi dan mengurangi margin pendapatan. Kemungkinan besar, produsen akan melakukan penyesuaian harga ke depannya.
Faktor lain, Anton melihat interest rate diffentialantara Indonesia sangat sempit selisihnya. Jika tahun depan Fed Fund Rate (FFR) naik menjadi 3,25 persen dan BI 7 Day Reverse Repo Rate naik menjadi 6,5 persen, maka interest rate differential menjadi sebesar 300 basis poin (bps).
“Ini yang lebih menjadi binding concern,” ujarnya.
Jika dilihat dari sisi rate differential di surat utang 10 tahun, kenyataannya akan lebih berat. Anton mengungkapkan selisihnya harus mencapai 500 basis poin atau sekitar 5 persen. Dengan demikian, Indonesia harus menaikkan imbal hasil SBN tenor 10 tahun ke kisaran 8 persen lebih.
Lebih lanjut, Anton memproyeksikan tekanan rupiah masih akan membayangi. Secara rata-rata, rupiah hingga akhir 2018 akan berada di kisaran Rp14.650 per dolar AS.
“Tahun depan diperkirakan Rp14.600 per dolar AS. Kelihatannya menguat, tapi sebenarnya tidak karena ini rata-ratanya dan ini melemah,” ujarnya.