WIN.Com, JAKARTA- Isu ‘Public Health’ menjadi perbincangan hangat dalam pekan kerjasama pendidikan dan riset Indonesia-Belanda (WINNER) yang dimulai pada 26 November 2020.

 

Pada talkshow ‘Strengthening Public Health: Partnering in a time of Covid-19’ turut dibahas seperti apa penguatan kerjasama di pelbagai bidang dan lintas disiplin keilmuan di tengah dan pasca pandemic Covid-19.

Dua Alumni Belanda yang tergabung dalam Holland Alumni Network Indonesia hadir sebagai pembicara utama di sesi talkshow ini.

Dalam diskusi selama 90 menit tersebut keduanya membahas lebih lanjut bagaimana pandemi COVID-19 mempengaruhi kemajuan pencapaian SDGs dari sudut pandang kesehatan masyarakat dan bagaimana peneliti di Indonesia dan Belanda dapat berkontribusi untuk mengurangi dampak pandemi yang lebih parah di kemudian hari.
Talkshow ini dimoderatori oleh Amalia Hasnida, MSc, peneliti Kesehatan dari Erasmus school of Health Policy and Management, Belanda.

Selanjutnya, forum ini juga menjadi sarana bagi peneliti dan akademisi dari Indonesia dan Belanda untuk saling berbagi ilmu dan pengalaman seputar bagaimana menyusun agenda strategis dalam merespon persoalan ini.

dr. Ahmad Fuady, PhD. Alumnus kampus Erasmus University Medical Center Rotterdam, The Netherlands yang juga merupakan salah satu tim peneliti di fakultas Kesehatan Universitas Indonesia menyoroti isu perlindungan sosial dan pengelolaan biaya Kesehatan yang disebabkan oleh pandemic Covid-19 di Indonesia dan Belanda.

Dia juga memberi gambaran besar bagaimana dampak pandemi COVID-19 terhadap capaian SDGs bidang kesehatan.

“Secara umum, menurutnya, pandemi mengakibatkan kemunduran capaian target kesehatan global 5-8 tahun ke belakang. Namun, pandemi juga menjadi pintu masuk utama untuk memperbaiki dan mengokohkan sistem kesehatan yang saat ini

Untuk memecahkan segala persoalan terkait pandemi dan dampaknya pada capaian SDGs, dibutuhkan upaya kolaborasi lintas bidang dan peran.

Bukan hanya dari peneliti, tetapi juga bersama knowledge users, seperti pemerintah, pembuat kebijakan, dan implementer program di lapangan. Kolaborasi, di samping daya utamanya membangun kekuatan bersama, juga perlu disiapkan dengan baik lewat pemahaman yg selaras dan komunikasi yang jernih dr semua pihak yg terlibat.

“Inilah mengapa penguatan Kerjasama dan kolaborasi lintas disiplin ilmu juga sangat dibutuhkan untuk bisa keluar dari krisis pandemi Covid-19 ini,” urai Fuady.

 

Sementara itu pembicara kedua, Suci Anatasia, alumnus program beasiswa StuNed di Vrije Universiteit Amsterdam tahun 2016, juga dosen di jurusan Ortotik Prostetik Poltekkes Kemenkes Jakarta memaparkan bagaimana dampak COVID 19 terhadap Pendidikan Vokasi Kesehatan di Indonesia, khususnya bidang Ortotik Prostetik.

“Karena pendidikan ortotik prostetik tidak hanya di kelas namun mayoritas juga dihabiskan dengan praktek Lab dan klinik. Lebih jauh lagi ia jelaskan Dengan sistem pembelajaran daring, tentu saja hal ini tidak lagi dapat dilakukan sehingga beberapa modifikasi pembelajaran diterapkan untuk tetap menjaga capaian pembelajaran dan kompetensi mahasiswa,” urai Suci.

Untuk mengetahui bagaimana dampak dari pembelajaran daring ini, maka dilakukanlah evaluasi melalui survey terhadap pengajar dan mahasiswa Ortotik Prostetik.

Setidaknya sebanyak 537 responden berpartisipasi dalam survey ini. Mereka berasal dari Jurusan Ortotik Prostetik Poltekkes Jakarta 1 dan Poltekkes Surakarta yang juga merupakan hanya dua Pendidikan tinggi Ortotik Prostetik di Indonesia.
Selain itu, survey juga didistribusikan pada sekolah ortotik di Asia Tenggara diantaranya SSPO (Thailand), CSPO (Kamboja), MSPO (Myanmar) dan SLSPO (Srilanka). Dan Beberapa poin yang di evaluasi antara lain adalah terkait persepsi mahasiswa dan pengajar mengenai proses alih keilmuan (knowledge transfer), kemudahan akses, keuntungan serta kendala yang dirasakan selama pembelajaran daring.

“Dari survey ini disimpulkan bahwa semua responden tidak setuju dengan pernyataan bahwa dengan pembelajaran ‘daring’ keterampilan dan kompetensi praktek dalam bidang ortotik prostetik dapat tercapai dengan baik dan efektif. Hal ini disebabkan karena dalam Pendidikan vokasi khususnya ortotik prostetik pembimbingan (bed side teaching) dan praktek yang dilakukan secara langsung (hands on) merupakan kunci keberhasilan pencapaian kompetensi mahasiswa,” papar Suci.

Selain itu, terdapat juga beberapa kendala yang dirasakan oleh mahasiswa terutama adalah kurangnya waktu untuk mengasah keterampilan praktek di laboratorium dan klinik. Belum lagi kendala teknis (seperti:koneksi internet, listrik, gadgets) dan extra biaya untuk kuota internet yang masih menjadi kendala yang sangat besar dirasakan oleh mahasiswa. Dilain pihak, kendala yang dirasakan pengajar adalah terbatasnya kemampuan literasi digital dan kemampuan merancang media pembelajaran interaktif terkait praktek seperti video demo/simulasi.

Suci juga mengungkapkan pentingnya menjaga dan memperkuat kolaborasi. “Selain kolaborasi dengan pihak di Indonesia dan Asia Tenggara, kolaborasi dengan peneliti Belanda juga sangatlah esensial untuk mewujudkan pengembangan terkait kesinambungan (sustainability) pelayanan ortotik prostetik di masa datang yaitu melibatkan teknologi 3D printing dan metode baru daur ulang,” jelasnya.

Dito Alif Pratama, Alumni Officer Nuffic Neso Indonesia, mengungkapkan rasa bahagianya melihat banyak alumni Belanda yang ikut aktif dalam acara ini.

“Partisipasi aktif alumni Belanda dalam berbagai lintas disiplin ilmu, mulai dari hukum, ekonomi, pendidikan dan Public Heath, menjadi salah satu bukti nyata akan semangat mereka untuk berkontribusi dalam penelitian dan peningkatan mutu pendidikan di Indonesia dan juga secara tidak langsung berkontribusi untuk membantu percepatan pencapaian 17 tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs).” tuturnya.