WanitaIndonesianews com, JAKARTA–Sesuai data BPS, pernikahan anak bagi beberapa kelompok masyarakat di Indonesia masih dianggap sebagai praktik yang lumrah.

 

Angka pernikahan anak secara nasional berada di kisaran 10, 35% di tahun 2020. Sementara itu terdapat 21 provinsi dengan angka pernikahan anak di atas rerata nasional. Data tersebut diambil dari Proporsi Perempuan Umur 20-24 Tahun Yang Berstatus Kawin atau Berstatus Hidup Bersama Sebelum Umur 18 Tahun.

Seperti yang belum lama ini terjadi, seorang figur publik yang memacari anak perempuan yang lebih muda duapuluh tahun, atau berusia sekitar 14 tahun. Secara terbuka, mengklaim akan menikahi anak perempuan tersebut setelah lulus sekolah.

Dalam kasus ini KPAI menganggap sikap figur publik tersebut berpotensi jadi glorifikasi terhadap pernikahan anak.

Balitbang Hukum dan HAM yang pernah mengadakan kajian singkat tentang isu ini menemukan bahwa ada tiga hal yang mempengaruhi tingginya perkawinan anak yaitu struktur, kultur dan proses sosial.

Struktur berkaitan dengan peraturan, sistem ekonomi atau sumberdaya kolektif yang mampu membentuk perilaku masyarakat. Kultur berkaitan dengan tradisi, adat, atau nilai-nilai yang menjadi dasar perilaku masyarakat. Sementara Proses Sosial dimaknai sebagai interaksi antar individu atau kelompok yang mempengaruhi pola perilaku masyarakat.

Ganesh Cintika, Analis Pelindungan Hak Sipil dan HAM Balitbang Hukum dan HAM mengatakan ketiganya membuat permasalahan pernikahan anak tidak seragam di masing-masing wilayah.

“Di Bangka Belitung misalnya, struktur ekonomi masyarakat yang didominasi oleh keberadaan timah berimplikasi terhadap keputusan anak melanjutkan pendidikan atau melangsungkan perkawinan. Ketika harga timah tinggi hingga mencapai ratusan ribu, ada kecenderungan anak SMP-SMA lebih memilih untuk menikah daripada berangkat ke sekolah,” ungkap Ganesh yang turut melakukan studi lapangan ke Bangka Belitung.

Temuan Balitbang Hukum dan HAM menunjukkan bahwa di wilayah lain, angka pernikahan anak tinggi karena budaya yang menjadikan perkawinan sebagai solusi atas segala permasalahan, contohnya menikahkan anak yang jadi korban kekerasan seksual untuk menutupi aib keluarga. Di tengah kompleksitas isu pernikahan anak, respon pemerintah juga harus menyasar tiga konteks permasalahannya, yaitu struktur, kultur dan proses sosial.

Pemerintah telah merevisi undang-undang perkawinan yang mengatur batas usia menikah perempuan. Semula batas usia menikah bagi perempuan minimal 16 tahun, kini berganti menjadi minimal 19 tahun. Namun, memperketat struktur hukum saja tidak cukup.

“Meskipun sudah ada landasan hukum yang kuat untuk membatasi usia perkawinan anak namun masih banyak keluarga yang menikahkan anaknya secara tidak resmi,” kata Ganesh.

Ganesh mengungkapkan, perbaikan struktur harus diiringi dengan reformasi kultur dan proses sosial. Reformasi kultur bisa dimulai dengan mengidentifikasi praktik yang mengatasnamakan agama atau budaya untuk mendukung pernikahan anak. Ketimbang bersikukuh menghapus adat istiadat, pemerintah dapat berkolaborasi dengan tokoh adat atau agama untuk menggeser cara memaknai budaya sehingga mampu melindungi anak dan perempuan.

Selain itu lanjutnya, pemerintah dan masyarakat perlu bersinergi dalam memanfaatkan proses sosial untuk mencegah pernikahan anak. Proses sosial yang dimaksud misalnya mengarusutamakan pencegahan pernikahan anak lewat kegiatan karangtaruna, konseling antar remaja, atau pengajian tingkat RT/RW.

Di lapangan sudah terdapat beragam inisiatif lokal dalam mencegah perkawinan anak, seperti inisiatif para kepala dusun di NTB yang melakukan prosesi “pembelasan” atau pemisahan pengantin untuk membatalkan pernikahan anak. Hampir serupa dengan apa yang diinisiatifkan oleh Kepala Desa di Bangka Belitung yang berjanji tidak akan menyewakan fasilitas desa bagi keluarga yang ingin menikahkan anak di bawah umur. Pemerintah pusat perlu merekognisi inisiatif lokal tersebut dan mengembangkannya dalam bentuk kebijakan yang berkelanjutan.

Pernikahan anak bukanlah isu tunggal yang berdiri sendiri. Jika diurai, isu ini bertalian dengan problem pembangunan, pendidikan, kesehatan, dan penafsiran budaya.

Respon yang tepat adalah dengan melibatkan aktor lokal hingga nasional yang berasal dari berbagai institusi mulai dari pemangku kebijakan, tokoh adat, agama, akademisi, masyarakat sipil, hingga perempuan dan anak/ remaja itu sendiri”, ungkap Ganesh.

Ia juga melanjutkan, bahwa pendekatan yang dilakukan bukan hanya kebijakan yang bersifat top down, tapi kebijakan yang sensitif pada keberagaman lokal.