WanitaIndonesianews.com,JAKARTA–Indonesia memasuki darurat tembakau, karena sepanjang 10 tahun ke belakang peningkatan angka perokok wanita mencapai 300 persen. Hal tersebut menjadi keprihatinan bagi organisasi Kongres Wanita Indonesia (KOWANI) dan berusaha mendorong pemerintah untuk mengendalikan rokok secara lebih serius.

Pada perayaan Hari Ibu ke-95 isu rokok menjadi concern Kowani. Bekerja sama dan berkolaborasi dengan komnas pengendalian tembakau, Kowani menggelar seminar bertajuk ‘Perempuan dan Anak membutuhkan kebijakan perlindungan dari Zat Adiktif Rokok’ yang diselenggarakan secara daring dengan diikuti anggota Kowani dari seluruh Indonesia.

“Saya sampaikan apresiasi setinggi tingginya kepada Bapak Prof dr. Hasbullah yang telah berkenan dalam rangkaian acara Hari Ibu, sangat strategis dimana komnas PT sebagai badan coordinator yang menggerakan seluruh komponen masyarakat untuk melawan zat adiktif yang terkandung dalam tembakau secara menyeluruh. Merupakan langkah tepat bagi Kowani sebagai ibu bangsa dalam menjaga generasi penerus bangsa kedepan yang sehat jasmani rohani, sebagaimana amanat dari founding mother sejak 1935,” ungkap Dr.Ir. Giwo Rubianto Wiyogo, M.Pd, Ketua Umum Kowani saat memberi keterangan pers pada awak media, Senin, 18 Desember 2023.

Giwo menjelaskan dasar pelaksanaan seminar ini juga merupakan tindak lanjut berdasarkan deklarasi “Suara Ibu Bangsa selamatkan indonesia dari hegemoni zat adiktif” pada tanggal 6 juni 2023 lalu yang bekerja sama dengan Komnas PT, berdasarkan AD/ART Kowani tahun 2019 dan UUD 1945.

Kegiatan ini juga bertujuan untuk mendorong upaya percepatan pembahasan dan pengesahan pemerintah tentang kesehatan, khususnya mengenai komitmen pemerintah dalam memperjuangkan hak kesehatan anak dan perempuan demi mencapai bonus demografi generasi emas tahun 2045. Serta tentunya memberikan informasi, edukasi kepada masyarakat secara ilmiah mengenai bahayanya merokok yang dilakukan secara offline maupun online dalam webinar setelah ini.

Berdasarkan hasil survey Global Adult Tobacco Survey (GATS) 2021 yang dirilis Kementerian Kesehatan RI pada Juni 2022, selama 10 tahun terakhir terjadi peningkatan jumlah perokok dewasa sebanyak 8,8 juta orang.

Pada 2021 lalu, jumlah perokok sekitar 60,3 juta jiwa, kemudian bertambah menjadi 69,1 juta jiwa pada 2022.

“Anak-anak yang tinggal dengan orang tua yang tidak merokok akan tumbuh 1,5 kg lebih berat dan 0.34 cm lebih tinggi daripada mereka yang tinggal dengan orang tua perokok kronis. Ini menunjukkan bahwa perokok aktif/kronis cenderung memiliki probabilitas anak-anak pendek atau kerdil, “beber Giwo.

Giwo menambahkan, pada momentum ini Kowani sekaligus menegaskan kembali akan bergandengan tangan, dalam melindungi diri, orang tersayang, masyarakat dan tentunya dalam menjaga generasi emas tahun 2045 agar hidup sehat lebih lama yang terbebas dari zat adiktif rokok.

Kowani dalam melaksanakan program kerja dari 12 bidang senantiasa bekerja sama dengan lembaga pemerintah maupun non pemerintah. Program kerja unggulan Kowani Antara lain:
1. Gerakan Ibu Bangsa anti tembakau
2 Gerakan Ibu Bangsa Percepatan Penurunan Stunting
3. Gerakan Ibu Bangsa Anti Kekerasan terhadap perempuan dan anak
4. Gerakan Ibu Bangsa berwakaf
5. Gerakan Ibu Bangsa Menolak LGBT di Indonesia.

Sementara itu, Prof. dr. Hasballah, dari Komnas Pengendalian Tembakau mengatakan Kowani punya kekuatan untuk menolak produk adiktif yang meliputi tembakau, rokok dan sebagainya.

“Seluruh dunia sepakat menyelamatkan warganegaranya dari produk adiktif. Sayangnya Indonesia satu-satunya negara yang sangat lemah dalam penanggulangan produktivitas rokok, ” ujar Hasballah.

Alasan klisenya, produk rokok adalah penyumbang pajak terbesar dari cukai rokok yakni sebesar 200 Triliun untuk negara.

Namun padahal kerugian yang ditimbulkan dari bahaya rokok mencapai 500 Triliun lebih untuk menanggani penyakit akibat rokok.

“Jadi memang tidak sebanding dengan biaya penanganan kesehatan dari dampak rokok ini. Tujuan pengendalian produk rokok ini bukan melarang orang merokok. Dengan alasan nanti bagaimana nasib buruh pabrik rokok. Ini benar-benar sangat memprihatinkan jika dampak buruk dari zat adiktif sendiri tidak dianggap sebagai bencana. Bayangkan saat ini kebutuhan rokok didalam keluarga merupakan nomor 2 setelah kebutuhan beras. Padahal kalau biaya rokok itu dialokasikan untuk biaya konsumsi rumah tangga, maka hal itu akan menekan  jumlah anak-anak yang kekurangan gizi lho” tukas dr. Hasballah.