GoHappyLive.com, JAKARTA– Data dari riset kesehatan dasar (Riskesdas) Indonesia, prevalensi kanker dan tumor di Indonesia mengalami peningkatan dari 1,4 per 1000 penduduk pada tahun 2013 menjadi 1,79 per 1000 penduduk di tahun 2018. WHO memprediksikan jumlah kematian akibat kanker di seluruh dunia meningkat menjadi lebih dari 13,1 juta manusia per tahun pada 2030.
 
 
Menghadapi kenyataan ini, pasien kanker maupun keluarganya memerlukan pendampingan psikolog yang intensif dalam menjalani proses perawatan medis.
Sehingga dituntut perlunya kehadiran klinik-klinik atau rumah sakit yang menyediakan layanan psikologis pada layanan komprehensif pengobatan kanker.
Menurut Psikolog Cecilia Sagita, M. Psi., proses pengobatan kanker masih fokus pada penanganan medis seperti operasi, radioterapi, kemoterapi dan lainnya.
Padahal kondisi psikologis pasien kanker dan keluarganya juga merupakan sisi yang harus disentuh dalam layanan pengobatan kanker.
“Banyak pasien merasa divonis mengenai akhir hidupnya, saat didiagnosis mengidap kanker. Vonis tersebut membuat pasien kanker mengalami gangguan psikologis antara lain kecemasan, ketakutan menjalani pemeriksaan, depresi, hingga kematian. Karena itu, selain pengobatan secara medik, pasien perlu juga diberikan intervensi yang tepat dari sisi psikologisnya,” ungkap Cecilia sekaligus anggota tim psikolog di Klinik Hayandra pada temu media bertema “Pendampingan Psikolog dan Penanganan Nyeri pada Penderita Kanker dengan Terapi Sel” yang digelar Klinik Hayandra, Kamis, 5/3.
Pendampingan psikologis sangat diperlukan terlebih saat mereka mulai menjalani proses pengobatannya yang tidak hanya memakan biaya dan waktu tetapi juga efek samping pengobatan yang menyakitkan.
Kondisi tersebut berpotensi besar menimbulkan rasa frustasi, sedih, depresi pada pasien dan keluarganya. Pada akhirnya bagi diri pasien itu sendiri, perasaan depresi dapat mempengaruhi daya imunitas tubuhnya dalam melawan sel kanker.
Saat ini layanan pengobatan kanker di Klinik Hayandra telah dilengkapi dengan pendampingan seorang psikolog.
“Pendekatan bio-psiko-sosial menjadi dasar untuk melihat manusia secara utuh (holistik) dalam proses membantu penyintas kanker untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Oleh karena itu diperlukan konseling dan psikoterapi sebagai langkah intervensi bagi pasien kanker untuk memberikan ketenangan dan membantunya menjalani perawatan medis dengan semangat positif,” papar Cecilia.
Cecilia menjelaskan dalam pengobatan kanker, keluarga juga perlu mengambil peran penting untuk memberi dukungan dan perawatan pada pasien kanker.
“Namun sifat keluarga yang protektif justru dapat membuat tekanan pada kondisi pasien. Kerap kali keluarga justru bertindak sebagai ‘pengawas’ yang membatasi keinginan dan perilaku pasien yang dapat menjadi pemicu konflik antara pasien dan keluarganya. Adakalanya keluarga menjadi sangat protektif seperti membatasi kegiatan pasien, membatasi makan, membatasi kumpul dengan komunitas dan lainnya. Pembatasan yang berlebihan justru mendorong pasien mengalami stress dan tertekan,” ujarnya.
Jika pasien sudah dalam tahap stress dan tertekan akibat tindakan yang terlalu protektif dari keluarga tersebut, dapat berdampak menurunnya sel imun. Akibatnya sel kanker menjadi lebih aktif.
Disinilah peran psikolog dapat memberikan psikoedukasi dan konseling kepada anggota keluarga sehingga tercipta suasana kondusif dan nyaman untuk pasien yang berdampak positif pada kondisi medisnya.

WHO memprediksikan jumlah kematian akibat kanker di seluruh dunia meningkat menjadi lebih dari 13,1 juta manusia per tahun pada 2030.

Sementara itu Kepala Tim Penanganan Nyeri Klinik Hayandra, Dr. I Putu Willy Adi Satria, SpAn, FIPM, mengatakan rasa nyeri yang dialami pasien kanker merupakan pemicu stress atau depresi. Baik untuk pasien yang sedang menjalani terapi maupun pada pasien paliatif pada kanker stadium lanjut.
Sehingga guna mengurangi rasa nyeri ini, umumnya dokter menggunakan obat-obatan penghilang nyeri dengan dosis tertentu.

Namun seiring kemajuan dibidang medis, saat ini dimungkinkan penanganan nyeri pada penderita kanker menggunakan terapi-terapi lain yang lebih canggih. Tujuannya untuk melakukan blok ataupun ablasi saraf yang membawa rasa nyeri.
“Penanganan nyeri pada pasien kanker tidak mudah untuk dilakukan. Penyebabnya, banyak pasien yang enggan untuk mendeskripsikan keluhan, pasien ketakutan akan nyeri namun tidak tahu kemana mencari pertolongan, pasien takut efek samping terapi dan kurangnya pengetahuan tentang obat-obatan opioid pada pasien kanker,” papar Dr.Willy.
Sedang dari sisi medis antara lain adanya kegagalan untuk memproses keluhan pasien secara adekuat, keengganan untuk memberikan dan memonitor dosis obat nyeri yang adekuat dan kurangnya pemberian edukasi pada pasien dan keluarga.
Namun apabila nyeri kanker atau cancer pain, bila diatasi dengan baik akan meningkatkan kualitas hidup penderita.
“Itulah sebabnya sangatlah penting untuk melibatkan tim penanganan nyeri dalam terapi komprehensif bagi penderita kanker,” katanya.
 
ICT Dapat Kurangi Rasa Nyeri
Penggunaan obat-obatan termasuk narkotika untuk mengatasi rasa nyeri sudah biasa dilakukan di dunia medis.
Namun seiring perkembangan jaman penggunaan alat-alat canggih seperti radiofrequency, rasa nyeri pada kanker bisa diatasi dengan terapi-terapi lain, diantaranya adalah Immune Cell Therapy (ICT).
Terapi pendukung pada kanker yang memanfaatkan darah pasien sendiri yang didapat dari hasil pengaktifan dan perbanyakan sel T, sel Natural Killer (NK), dan sel NKT dalam proses selama 2 minggu, ternyata juga mampu mengurangi rasa nyeri yang dialami pasien.
“ICT yang mengandung sel T, sel NK, dan sel NKT, tidak hanya secara alamiah bertugas sebagai pembunuh kanker, namun juga berguna dalam mengurangi nyeri akibat kanker,” kata Dr. dr. Karina, SpBP-RE, doktor bidang biomedik yang juga merupakan ketua Klinik Hayandra.
Dari banyak penelitian di dunia, hal ini diduga merupakan efek penekanan radang secara menyeluruh, serta dikeluarkannya zat-zat yang dinamakan sitokin dan peptida opioid endogen, oleh sel-sel imun yang terkandung dalam ICT.
Zat-zat tersebut merupakan sejenis morfin alami dari tubuh.
Penanganan pengobatan kanker harus dilakukan secara komprehensif atau menyeluruh, tidak sekedar penanganan medis.
“Untuk penyakit berat seperti kanker, kita harus melihat dari segala sudut, supaya nyaman bagi pasien. Sehingga penanganannya juga harus komprehensif, menyeluruh,” pungkas Dr Karina.