WanitaIndonesianews.com, JAKARTA– Wakil ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI, Anis Byarwati menyoroti  inflasi mata uang rupiah yang  secara tidak langsung menggerogoti daya  beli masyarakat , terutama petani. Hal tersebut ditandai dengan nilai tukar petani bergerak lambat yang mencerminkan bahwa penghasilan petani dari pertanian tidak mampu memenuhi kebutuhannya.

 

Anis mengungkapkan keprihatinan ini pada  saat mengikuti rapat kerja  Komisi XI DPR RI   dengan agenda Pembahasan Asumsi Dasar dalam RUU APBN 2024 dan Pengambilan keputusan Asumsi Dasar dalam RUU APBN 2024.

Anis menyatakan bahwa Rancangan APBN 2024 yang sudah dibahas panjang persoalannya bukan sekedar angka. Akan tetapi bagaimana angka-angka tersebut bisa menjadi motivasi untuk bekerja lebih baik lagi. Menurut pengamatannya, kinerja pertumbuhan ekonomi Indonesia belum memadai untuk mencapai harapan yang lebih tinggi.

Dengan target pertumbuhan ekonomi tahun 2024 sebesar 5,2 persen, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam satu dekade stagnan dibawah 5 persen, dengan rerata dari 2014-2024 hanya 4,2 persen. Angka ini jauh dari optimisme pemerintah di awal untuk mencapai pertumbuhan 7 persen. Bahkan belum pernah menyentuh target yang direncanakan RPJMN hingga akhir 2024 yaitu di angka 6-6,2 persen.

“Artinya jika di hitung dalam satu dekade ini (2014 sampai 2024), reratanya hanya sekitar 4%. Jika target tersebut bisa dinaikkan sedikit saja, mungkin akan lebih memacu sektor-sektor untuk tumbuh lebih tinggi juga,” ujar anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera ini.

Terkait inflasi , wakil ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI ini mendorong Bank Indonesia untuk menekan inflasi di desa. Inflasi di desa telah menggerogoti daya beli petani yang sudah rendah. Nilai tukar petani bergerak lambat yang mencerminkan bahwa penghasilan petani dari pertanian tidak mampu memenuhi kebutuhannya.

Anis juga mendorong Bank Indonesia untuk segera memengaruhi pergerakan suku bunga kredit. Ia menilai bahwa transmisi kebijakan moneter (jalur suku bunga) ke sektor perbankan lamban sehingga berpengaruh terhadap penyaluran kredit dan investasi. Dengan lambannya transmisi tersebut maka ekonomi kekurangan likuiditas.

Ketua DPP PKS Bidang Ekonomi dan Keuangan ini juga mendesak Otoritas Jasa Keuangan untuk fokus pada kondisi likuiditas perbankan di daerah. Menurut data OJK, beberapa provinsi mengalami keterbatasan likuiditas yang tercermin dari Loan to Deposit Ratio (LDR) di atas 100. Bahkan, beberapa provinsi memiliki LDR hingga 120. “OJK perlu menyelesaikan hal ini,” kata Anis.

Politisi senior PKS dari Jakarta Timur ini juga mencermati nilai tukar sebesar Rp15.000 mencerminkan bahwa daya saing ekonomi nasional relatif rendah. Pemerintah dan Bank Indonesia perlu menetapkan nilai tukar yang lebih kuat karena nilai tukar sangat penting bagi pemerintah, swasta dan dunia usaha.

“Kegagalan mencapai nilai tukar menyebabkan anggaran cicilan bunga dan pokok utang pemerintah dan swasta melambung,” katanya. Anis juga mendorong BI untuk meningkatkan cadangan devisa yang digunakan untuk menjaga stabilitas nilai tukar. “Cadangan devisa yang rendah tidak akan mampu menjaga Rupiah lebih kokoh,” tegasnya.